Seorang profesor dari Monash University, Australia, baru-baru ini mengangkat isu sensitif namun sangat penting: kekerasan seksual yang terjadi di layanan kesehatan di Indonesia. Dalam penelitiannya, ia mengungkap bahwa pasien—terutama perempuan—masih sangat rentan terhadap pelecehan hingga kekerasan seksual saat berada dalam situasi medis yang seharusnya aman dan profesional.
Temuan Mengejutkan: Ketimpangan Kuasa dan Minimnya Pengawasan
Profesor tersebut menyatakan bahwa salah satu akar masalah terletak pada ketimpangan relasi kuasa antara pasien dan tenaga medis. Banyak korban merasa tidak berdaya atau bahkan tidak sadar bahwa mereka mengalami pelecehan karena pelaku memiliki otoritas profesional. Selain itu, lemahnya sistem pengawasan dan belum adanya SOP (Standard Operating Procedure) yang tegas turut memperparah situasi.
Dampak Psikologis Jangka Panjang
Kekerasan seksual di ruang medis bukan hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam. Banyak korban merasa malu, bingung, atau takut untuk melapor karena stigma sosial dan ketidakjelasan mekanisme pengaduan di fasilitas kesehatan.
Kritik terhadap Sistem dan Regulasi
Menurut sang profesor, Indonesia masih belum memiliki sistem yang memadai untuk menangani laporan kekerasan seksual di lingkungan medis. Belum ada kebijakan nasional yang secara eksplisit melindungi pasien dari pelecehan oleh tenaga kesehatan. Hal ini menciptakan ruang impunitas bagi pelaku.
Rekomendasi: Edukasi, Transparansi, dan Reformasi
Untuk mencegah terulangnya kasus-kasus serupa, profesor Monash mengusulkan beberapa langkah strategis:
- Pelatihan anti-kekerasan seksual bagi semua tenaga kesehatan.
- Penerapan prosedur transparan saat pemeriksaan medis, termasuk kehadiran pendamping pasien.
- Pembentukan mekanisme pelaporan independen yang mudah diakses oleh korban.
- Reformasi regulasi di tingkat nasional yang mengatur perlindungan pasien secara menyeluruh.
Tantangan Budaya dan Perubahan Paradigma
Isu kekerasan seksual di layanan kesehatan seringkali menjadi topik yang “tidak enak dibicarakan” di masyarakat Indonesia. Namun, sang profesor menekankan pentingnya perubahan paradigma budaya agar setiap individu merasa aman dan berhak mendapatkan perlindungan, bahkan dalam kondisi paling rentan sekalipun.
Kesimpulan: Saatnya Bertindak
Sorotan dari akademisi internasional seperti profesor dari Monash University menjadi cermin yang menyakitkan, namun perlu bagi Indonesia. Keamanan dan martabat pasien harus menjadi prioritas utama dalam sistem kesehatan. Sudah waktunya semua pemangku kepentingan—pemerintah, tenaga medis, lembaga pendidikan, dan masyarakat—bekerja sama untuk menciptakan layanan kesehatan yang bebas dari kekerasan seksual.