Indonesia justru menjadi salah satu pemain utama dalam inovasi sistem pembayaran. Salah satu buktinya adalah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standar).
ebuah sistem pembayaran digital berbasis QR code yang kini kian meluas penggunaannya, bahkan luar negeri. Banyak yang menyebut: “Pantesan Amerika takut!” Tapi, benarkah QRIS sudah sampai pada titik itu?
Sebagaimana terketahui, QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) bulan lalu sempat menuai kontroversi karena teranggap hambatan perdagangan bagi pemerintah AS.
Hal itu tertuang dalam dokumen Foreign Trade Barriers yang terkeluarkan United States Trade Representative (USTR).
Menurut Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Santoso Liem menyatakan keunggulan QRIS yang lebih mudah, murah, dan interoperability itu yang menjadi perhatian bagi perusahaan-perusahaan switching AS.
“Nah inilah yang mengakibatkan mungkin merasa Visa dan Mastercard merasa tertinggal. Tapi menurut kami kita tidak menutup kemungkinan untuk kerjasama ke depan,” kata Santoso.
Jika ekosistem seperti QRIS terus berkembang dan diperkuat, bukan tak mungkin Indonesia akan menjadi role model untuk sistem pembayaran masa depan. Inovasi ini bahkan mulai menarik perhatian media internasional dan pakar ekonomi global.
QRIS bukan sekadar alat bayar. Ia adalah simbol kemandirian ekonomi digital bangsa. Dengan regulasi yang mendukung, edukasi masyarakat yang terus tertingkatkan, serta kolaborasi lintas negara yang semakin solid, QRIS menunjukkan bahwa Indonesia tidak tertinggal—justru melesat ke depan.