seorang pria nyaris berhasil membawa kabur 960 kilogram emas batangan dari gudang penyimpanan berkeamanan tinggi dari kantor Pegadaian di Jl. Kramat, Jakarta Pusat. Sejarawan Ben Anderson dalam bukunya “Revoloesi Pemoeda” (2018).
Awalnya, aksi ini berjalan mulus. Nakamura, yang memiliki jabatan tinggi dan mendapat dukungan atasannya, Kolonel Nomura Akira, memanfaatkan kekacauan pasca-perang. untuk mengangkut harta negara menggunakan truk. Harta tersebut tersimpan di rumah kekasihnya,
Namun, rahasia itu terbongkar karena sikap Carla yang berubah drastis. Ia mulai hidup mewah dan suka pamer kekayaan, bahkan mengaku lebih kaya dari Ratu Belanda.
“Saya lebih kaya dari Ratu Belanda. Saya akan tidur di ranjang emas dan para tamu akan makan dari piring emas,” kata Carla dikutip dari Rampok (2012).
Tindakan ini memicu kecurigaan dari intelijen Belanda dan Inggris, apalagi Carla juga anggota dari kelompok gerilya Nederlandsch Indies Guerilla (NIGO).
Setelah terselidiki, terbongkarlah bahwa kekayaan Carla berasal dari hasil curian. Ironisnya, para intel yang menemukan fakta itu justru ikut menikmati emas curian tersebut, mengambil sekitar 20 kg untuk diri mereka sendiri.
Lambat laun, semakin banyak orang mengetahui kejahatan ini, hingga akhirnya pemerintah Belanda yang masih menduduki Jakarta mengusut kasus tersebut. Nakamura, Carla, Kolonel Nomura, serta dua intelijen Belanda ditangkap dan dinyatakan bersalah.
Menurut laporan media saat itu, De Locomotief (1/8/1948), hanya emas senilai 1 juta gulden yang berhasil tersita, sementara sisa emas lainnya – yang jumlahnya ratusan kilogram – hilang tanpa jejak.
Peribahasa “diam itu emas” terasa sangat relevan dalam kasus ini. Andai sang istri tidak membagikan kehidupannya secara berlebihan, mungkin kisah ini akan memiliki akhir yang berbeda. Tapi pada akhirnya, keadilan menemukan jalannya—bahkan dari unggahan media sosial yang tampak sepele.