Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat, bukanlah nama asing di dunia politik Indonesia. Selain terkenal karena kebijakan lokalnya, ia juga populer di media sosial berkat gaya komunikasinya yang blak-blakan dan kerap viral. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan: apakah konten-konten yang ia hasilkan benar-benar substansial atau sekadar jebakan komunikasi artifisial?
Dedi Mulyadi kerap dijuluki “Gubernur Konten” karena kemampuannya menciptakan narasi yang mudah viral. Beberapa contoh kontroversialnya antara lain:
- Pernyataan tentang “Anak Muda Harus Kaya” yang menuai pro-kontra.
- Gaya bicara sarkastik dan provokatif yang kerap menjadi bahan perbincangan.
- Konten-konten tiktok dan YouTube yang mengundang reaksi beragam.
Namun, apakah viralitas ini sejalan dengan kebijakan nyata atau hanya sekadar pencitraan?
Komunikasi artifisial merujuk pada upaya membangun citra melalui narasi yang terancang untuk viral, tetapi minim aksi konkret. Beberapa indikatornya adalah:
- Prioritas Konten Dibanding Kebijakan – Apakah Dedi lebih fokus pada konten viral ketimbang program pembangunan?
- Provokasi sebagai Strategi – Banyak pernyataannya memancing emosi, tetapi apakah ikuti solusi?
- Efek Jangka Panjang – Viralitas bisa meningkatkan elektabilitas, tetapi apakah meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Respons Publik: Antara Dukungan dan Kritik
- Pendukung melihat Dedi sebagai figur yang “beda” dan dekat dengan anak muda.
- Kritikus menilai gaya komunikasinya terlalu spektakel dan kurang berorientasi pada solusi.
- Netral mempertanyakan apakah konten-kontennya benar-benar berdampak atau hanya pencitraan.